Cerita : Bukan Hujan Biasa



Bukan Hujan Biasa
Oleh Nur Lailatul Farida

“Hujan telah menghampiri, apa yang aku rencanakan nggak akan berhasil.” Gumanku ketika beberapa saat mentari hilang tak memunculkan diri, bersandar di tepi jendela dengan angin membawa debu. Awan yang seketika berubah menjadi gelap, bahkan semua aktifitas dalam keluarga juga lenyap.
“Lala ayo bantu Ibu?” Perintah Ibu dari arah belakang rumah.
Kaki ku langkahkan dengan segera tanpa ada henti sekecil apapun, bukan karena takut hujan. Ku berjalan menelusuri ruang tamu, 4 kamar tidur dengan ukuran mini dan dapur yang bernuansa tempo dulu.
“Iya, Bu.” Kataku singkat ketika kaki menginjakan diri ke tanah samping Ibu.
Senyum mengembang di kedua pipiku, “Udah Ibu istirahat aja dulu, biar Lala yang beresin ini semua.” Ujarku.
“Hujan sudah datang, Nak. 1 orang melakukan dengan sendiri akan lama selesai dibanding 2 orang yang melakukannya. Jadi, Ibu tetap bantu Lala.” Ibu mengucapka kata di ujung dapur dengan membawa baju yang masih basah untuk dikeringkan dengan udara diri dan mungkin hal tersebut membutuhkan waktu yang banyak.
“Iya, Bu. Semua apa yang telah Ibu lakukan tak akan ku lupakan.” Batin kecilku menyatakan hal yang sama dengan apa yang aku pikirkan.
Beberapa saat kemudian, pekerjaan ku bersama Ibu selesai. Dengan tenaga dan pikiran yang mengalir, hati ku bahagia bisa bersama Ibu walau itu hanya melakukan pekerjaan.
Rintik-rintik hujan semakin ingin mengeluarkan diri, kabut tebal dengan awan berwarna putih diselingi abu-abu mulai menampakkan diri di setiap ujung langit.
“Bapak? Ayo masuk, hujan telah menunggu kita.” Kataku melihat Bapak sedang membereskan gerobak dorong untuk jualan hari ini, gerobak dorong yang banyak memiliki manfaat bagi keluargaku mencari nafkah, kebersama yang bahagia, dan suka duka kita alami bersama.
“Iya,” Bapak dengan wajah datarnya berjalan menuju rumah dengan membawa alat yang perlu untuk diangkat agar tidak kehujanan.
Bapak dan Ibu telah mendiamu rumah beberapa saat untuk menunggu hujan reda.
TOK TOK TOK . . .
Pintu rumah yang mengeluarkan suara menandakan ada seseorang datang baik untuk bertamu ataupun hanya iseng-iseng. Dengan lincahnya Bapak berjalan menuju pintu dan dibukalah pintu tersebut.
“La ada temen kamu,” ucap beliau ketika pintu sudah membuka lebar.
“Iya, Pak. Sebentar!” Ku menyudahi aktifitasku yang lalu yaitu belajar untuk menghampiri Bapak.
“Ya sudah Bapak tinggal dulu kalau gitu,”
Senyum mengembang dipipi ku dan temanku, "Oh iya ada to?" lanjutku ketika Bapak telah menjauh dari kami.
“Aku disuruh Nina untuk jemput kamu, katanya kita belajar bareng.” Penjelasan Tito yang berdiri di dekat pintu tetapi dalam ruangan.
Ukiran senyum dipipi Tito seakan membuat leleh hatiku, jantung seakan berkejar-kejaran dengan tangan yang semakin dingin.
“Ntar aku bonceng,” katanya kemudian.
Ekspresi wajah yang tak karuhan telah mendiami wajahku untuk beberapa saat dihadapan Tito, dia berajalan menjauh menghampiri motor. Kaki mungilku berjalan menjauh untuk membantuku menyulap untuk menjadi cantik dengan pakaian rapi, rambut yang ditutupi kerudung dengan harum dan sepatu yang telah menempel dengan indah di kaki.
Semua selesai, aku berjalan ke dapur untuk meminta izin ke orang tuaku.
“Pak, aku berangkat ya?” Kataku dengan mencium punggung tangan Bapak dan Ibu.
Beliau mengangguk, menandakan izin telah ku peroleh. “Assalamualaikum Pak Bu,” lanjutku dengan tubuh orang tua yang semakin tenggelam dilawan jarak. Menunggu di atas motor dengan menaikinya, Tito ternyata membawa teman yaitu Bintar.
“Maaf menunggu lama,” kataku ketika kaki mendarat dengan sempurna di hadapan mereka.
“Iya, nggak apa-apa.” Bintar menjawab perkataanku.
Senyum mengembang di pipi mereka, gas mulai dinyalakan.
“Ayo naik,” perintah Tito dengan mata yang meberi isyarat juga.
“Tapi masih gerimis, apakah kalian nggak berteduh dulu?” Tanyaku ketika belum naik, gerimis turun kembali.
“Tidak, ayolah naik. Dari pada hujan semakin lebat,” jawab Tito kemudian dengan menatapku.
Deg, tatapan itu? Tatapan misteri, dia perhatian denganku ataukah hanya dengan tubuhnya sendiri? Pikiran mulai bertanya-tanya dengan hati. Hati telah menyelesaikan tugasnya dengan baik untuk menjawab pertanyaan pikiran.
“Oke, maaf ya kalau ngerepotin.” Aku menaiki punggung motor untuk bergegas sampai tempat tujuan.
Rintikan hujan tak diam-diamnya berhenti, hembusan angin yang kencang menambah deras air yang jatuh. Gas dipercepat.
“Bisakah kamu berjalan lebih pelan sedikit, aku takut.” Ujarku kepada Tito dengan mata yang tetap fokus ke arahnya.
“Aku bisa berjalan lebih pelan. Namun, aku juga takut kalau kau sakit. Kita mau ulangan dan kita harus jaga kesehatan.” Penjelasan Tito telah cukup untuk aku mengerti.
“Maaf,”
“Hujan akan tetap mengejar kita kalau kita tidak segera meneduh, bukan?” Tanya Tito sedikit menoleh kebelakang.
“Hujan nggak akan menyakiti kita, kalau kita tak menyakiti mereka pula.” Kataku dengan tatapan samar-samar, “Dan setiap titik air hujan memiliki warna yang beraneka ragam sesuai dengan manfaat yang Allah berikan kepada mereka, bukan?" lanjutku.
Tito tersenyum mendengar pernyataanku, hati yang berdebar-debar bak diguncang bencana.
“Hujan yang indah untuk hari ini, cinta pertamaku adalah laki-laki pertama yang memboncengku.”
Seketika awan hitam melarikan diri, gerimis hujan tiba-tiba reda dan angin bertiup dengan pelan. Beberapa saat pelangi menampakan diri, dengan warna yang beraneka ragam mempercantik langit seusai hujan.
“Pelangi memiliki banyak warna, begitu juga dengan titik air hujan.” Kataku pelan. Namun, Tito mendengar hal itu.
“Bukan hanya mereka yang memiliki warna. Namun, cinta kehidupan pun sama memiliki banyak warna.” Sahutnya tanpa kusadari.
Senyum mengembang, hati pikiran tenang , pelangi menyatu dengan hujan dan kehidupan di hujan hari ini memiliki banyak warna.

Komentar