Artikel : Totalitas Kesetaraan Gender



Totalitas Kesetaraan Gender
Oleh NurLailatul Farida

Kesetaraan gender menjadi masalah tersendiri dari masalah yang ada di Indonesia. Seakan-akan perempuan yang menjadi korban dari segala bidang, namun tak terkecuali laki-laki yang menjadi korban. Lantas bagaimana dengan perempuan yang memiliki prestasi tinggi? Kalau anggapan yang sering terdengar 'perempuan lemah'. Hal itulah yang membuat akar dari permasalahan ini, bahkan anggapan perempuan lemah muncul sejak mereka lahir. Terbukti dengan adanya contoh yang tersebar dikalangan masyarakat, jika bayi perempuan terjatuh lalu ia menangis dengan sigap orang tua menenangkan, hal itu berbeda dengan bayi laki-laki yang terjatuh mungkin saja orang tuanya beranggapan kalau mereka kuat. Sehingga, unggapan lemah seakan-akan melekat pada diri perempuan walaupun ada beberapa perempuan yang kuat disbanding laki-laki, namun itu tak membuat realita berkata sama. Apalagi ditunjang dari cara seorang perempuan berfikir identik dengan perasaan, sedangkan kaum laki-laki yang identik dengan emosional (pemikiran logis). Namun, seharusnya seseorang memahami secara mendalam tentang kesetaraan gender tidak memihak pada salah satu jenis kelamin.
Kesetaraan gender yang berarti menyamakan peran, fungsi, cara berfikir, cara pandang dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan, namun tak melewati batas. Maksudnya jika seorang perempuan sudah mendapatkan kesetaraan gender lantas ia meninggalkan apa yang seharusnya perempuan lakukan (kewajiban) yang sepeti itu tak dapat dikatakan kesetaraan gender. Jika kaum perempuan mendapat kesetaraan gender itu, mereka harus berusaha menyeimbangkan antara kesetaraan dengan kewajibannya, baruperepuanitudikatakantotalitasdalamkesetaraan gender. Sebaliknya dengan kaum laki-laki. Totalitas kesetaraan gender yang menjadi perbincangan panas dikalangan masyarakat yang perempuan melebihi apa yang digariskan itu pun tak dapat dikatakan baik, laki-laki yang tak bertanggung jawab atas apa yang mereka dapatkan tentang kesetaraan gender itu pun tak dapat dikatakan baik.
Totalitas kesetaraan itu tak hanya berperan sebagai ungkapan yang masuk ke telinga kanan dan keluar telinga kiri, namun totalitas yang dimaksud adalah kesungguhan seseorang baik perempuan maupun laki-laki untuk mempertanggungjawabkan atas apa yang sudah diterima baik secara kodrati maupun kesetaraan gender. Adanya kesetaraan gender timbul akibat konstruk social (keadaan manusia). Keadaan manusia yang nyata memungkinkan seseorang mendapatkan kesetaraan gender. Misalnya, keadaan ekonomi dalam rumah tangga yang serba kekurangan mengakibatkan seorang perempuan yang harus mencari nafkah tambahan untuk menghidupi keluarganya, hal itu pun berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun, itu tak membuat perempuan semena-mena terhadap suaminya. Terkadang benak masyarakat melekat akan asumsi jika seorang perempuan ia bekerja, ia akan semena-mena terhadap suami dan lupa akan tanggungj awab sebagai seorang istri ataupun ibu.
Totalitas kesetaraan gender yang memiliki peran lebih untuk meningkatkan bahwa jenis kelamin memiliki hak dan tanggung jawab masing-masing, kesungguhan laki-laki atau perempuan untuk mendapatkan kesetaraan gender yang sama. Misalnya, perempuan yang menjadi pemimpin baik dalam negara, kota, perusahaan atau apapun ia harus bersungguh-sungguh untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka pilih, dan itu tetap saja mereka tak mampu berperan sebagai pemimpin dalam rumah tangga kecuali keadaan tertentu.
Jadi, totalitas kesetaraan gender timbul jika ada konstruk social atau keadaan social yang harus dipertanggungjawabkan, dan tak melebihi apa yang menjadi batasan dari jenis kelamin perempuan atau pun laki-laki.

Komentar